KEPADAMU

 

Aku melarungkan perahu kertas di kali butek

Dan kau bilang aku menulis sajak yang metaforik,

Aku tahu,

Perahu-perahu kertasku takan sampe ke samudera

Mereka akan Lebur, bahkan sebelum tiba di pintu air penuh sampah,

Lalu menjadi lumpur,

Bercampur limbah restoran, hotel, pabrik, rumah tangga,

Dan warungwarung emperan.

Awanawan kehilangan kelembapan

Kotakota merindukan lugunya kesejukan

Dan kehidupan perlahanlahan ditelan kepurapuraan

Tak ada yang bisa kulakukan selain menulis sajak

Walau aku tahu sajaksajaku mungkin tidak akan terbaca

Atau hanya akan menjadi seliweran katakata yang tak memiliki makna

Berlalu pergi, tanpa arti, kemudian mati

Bau dan busuk…

Bila suatu waktu kau bertemu dengan sajaksajakku tanpa sengaja

Ulurkanlah tanganmu dan beri salam saja, jangan tatap matanya

Sebab kau tak perlu melihat genangan sungai butek didalamnya.

(ama)

BAU MIMPI

Seekor cicak jatuh di gorden

dua laba-laba sedang  berebut mangsa yang ketakutan.

sekaleng susu jatuh dari meja, aku, cicak, dan laba-laba sama-sama terkejut

menonton susu yang mulai melekat dikerubung semut

ada suarasuara aneh di sudut kamar

seperti tangis kelaparan seratus juta rakyat

senada suara erangan kesedihan kebudayaan

sama-sama bernada gentar oleh gemetar

lalu dari antara celah tembok dan lantai muncul seorang ksatria

berperisai kusam sembari mengenggam sebuah pedang karat,

mulutnya meneriakkan keadilan, sementara darah mengalir dari matanya yang saga

aku melihat lubang besar di perutnya bercahaya seperti sebuah lampu sorot

mengarah ke tembok, menjadi sebuah dokumenter dengan degradasi yang tak stabil,

aku melihat,

bocahbocah mengunyah sampah, darahdarah kental di jalan raya,

ibuibu dengan pakaian kumal menyusui bayi kerempeng mereka,

pemudapemudi mabuk di warungwarung dengan dinding seadanya,

petani mengayuh cangkulnya untuk menyusun paving trotoar,

buruhburuh pabrik sibuk menghitung upah, lalu saling ajak untuk demonstrasi,

dan seorang nelayan sibuk membujuk anaknya yang merengek minta dibelikan Pizza

aku melihat,

mahasiswamahasiswa sibuk memilahmilah teori,

guru dan dosen sibuk membahas kurikulum dan menyusun silabus

pejabatpejabat publik bersembunyi di balik gedunggedung dengan CCTV

televisi, koran dan radio sibuk cari berita untuk mengejar oplah dan iklan,

pedagangpedagang kecil gulungtikar,

dan pengusahapengusaha pribumi yang mulai belajar pengertian monopoli

Anjiiiiiiingggg,

Pedang karat ksatria kusam menghujam dadaku, tidak menjadikan luka, tapi memar yang ungu,

Memar yang betrgambar seekor burung tertunduk, malu untuk menengok ke kanan apalagi ke kiri,

Bulubulunya rontok menjadikannya telanjang, telinganya pekak oleh tertawaan dunia.

Aku bergeser ke sudut kamar, bersama cicak, labalaba, dan sekumpulan semut

Menonton ksatria menarikan tarian perang yang kuno

Perisainya siaga dengan ketat, dan pedangnya menari dengan liar

Kakinya menhentakkan doa pada ibu bumi,

sedangkan kepalanya sesekali mendongak doa pada bapa langit

busss,,,, gedebassss… gedebusssss…. gebusss..gebussssss

gelap seketika….

cahaya merah

cahaya putih

aku,

seekor cicak dengan ekor buntung,

seekor labalaba tanpa jaring

sekumpulan semut tanpa ratu

sama-sama tidur di kamar yang bau

(Juni 2013)

ImageImage

Apa Kabarmu?

Resistensi udara menyebabkan butiran air mengambang di awan

Dan ketika titik embun masuk ke dalam angan

Doa dan sajak-sajaku mengambang bersama penguapan

Aku dan udara sama-sama jenuh

Di sana, Kumulonimbus di pojok jauh

Mendekat ibarat nelayan menarik sauh

Selalu kuiingat katamu dalam kerinduan

“jangan terlalu lama berada dalam kenyamanan”

Maka kemarin kuputuskan datang ke tempat ini sendirian

Di sini aku duduk sembari menonton ketinggian

Yang memaksa udara lembab mengembun

Lalu jatuh sebagai hujan di sepanjang sisi pegunungan

Oleh tanah dan bebatuan yang menyerap minyak tumbuh-tumbuhan

Aku mencium bau petrikor selepas hujan

Menulis  puluhan pesan, lalu menghapusnya tanpa sisa

Aku tahu, bagimu aku tak pantas lagi bertanya

(Ama, Juni 2013)

Image